Melongok Demokrasi Indonesia

"Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah ’pemerintahan rakjat’. Tjara pemerintahan ini memberi
hak kepada semua rakjat untuk ikut memerintah. Tjara pemerintahan ini sekarang menjadi tjita-tjita
semua partai nasionalis Indonesia. Tetapi dalam mentjita-tjitakan faham dan tjara-pemerintahan
demokrasi itu, kaum Marhaen toch harus berhati-hati. Artinya: djangan meniru sahaja ’demokrasidemokrasi’
yang kini dipraktekkan di dunia luaran...." - Ir Soekarno, "Di Bawah Bendera Revolusi"
(1965)
Soekarno mempunyai pandangan sendiri mengenai demokrasi. Demokrasi khas Eropa dinilai tak
sesuai dengan demokrasi kaum Marhaen di Indonesia. Ia menulis, "demokrasi" yang begitu
hanyalah demokrasi parlemen saja, hanya demokrasi politik saja, sementara demokrasi ekonomi
tak ada. Soekarno menulis: demokrasi politik saja belum menyelamatkan rakyat.

Kaum nasionalisme Indonesia tak boleh mengeramatkan "demokrasi" seperti itu. Nasionalisme kita
haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi ia
harus mencari selamatnya semua manusia.
Selamatnya rakyat menjadi titik sentral dari pandangan Soekarno. Pandangannya soal
nasionalisme sebuah bangsa selalu dikaitkan dengan pandangannya soal humanisme. Ia
menyebut, nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan.
Mencari demokrasi
Demokrasi selalu menyertai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ada demokrasi parlementer
atau demokrasi liberal (1950-1959), ada demokrasi terpimpin (1959-1966) di bawah Soekarno, ada
juga demokrasi Pancasila yang dikontrol Soeharto (1967-1998). Pasca-Soeharto, Indonesia
kembali memasuki era demokrasi pascatransisi, entah liberal atau demokrasi model lain.
Tujuh puluh lima tahun kemudian, pandangan Soekarno mengenai demokrasi sebagaimana
ditemukan di halaman 171 buku Di Bawah Bendera Revolusi menarik untuk diperbincangkan.
Berhentinya Soeharto tahun 1998 mengantarkan Indonesia ke era demokrasi pascatransisi dengan
sistem multipartai yang ekstrem. Perubahan UUD 1945 menjadi kunci pembuka.
Komisi negara tumbuh. Pers menikmati kebebasan. Orang bebas berpendapat dan berorganisasi.
Rakyat berhak memilih sendiri siapa pemimpinnya. Sekali merdeka, merdeka sekali! Begitu
ungkapan sinis orang. Proses pencarian demokrasi terus berlanjut sampai akhirnya Mahkamah
Konstitusi memberikan landasan konstitusional bolehnya calon perseorangan mencalonkan diri
sebagai calon kepala daerah.
Apakah itu potret demokrasi yang memang kita dambakan? Salah seorang panelis dalam diskusi
politik "Sepuluh Tahun Krisis Multidimensi" berpendapat, "Sejak awal kita tidak memiliki cetak biru
mengenai demokrasi Indonesia." Ia juga menyebutkan pembangunan demokrasi di era 1998-an
terlalu difokuskan pada politik Jakarta.
Meskipun demikian, kehadiran demokrasi di Indonesia bukanlah tidak membawa manfaat.
Partisipasi politik yang tinggi adalah buah dari hadirnya sistem demokrasi. Rakyat boleh
mengorganisasikan diri untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi politik
melahirkan lompatan yang besar.
Pada sisi lain, rakyat mereguk kembali kebebasan sipil dan politik mereka. Rakyat menikmati
kebebasan berpendapat. Rakyat menikmati kebebasan berorganisasi. Secara umum, kebebasan
sipil bisa dinikmati meskipun di sisi lain hak fundamental dari sekelompok masyarakat—bisa
dengan penilaian sesat atau menyimpang—bisa dihilangkan begitu saja oleh kelompok
masyarakat lain.
Pada kondisi ini, kekhawatiran Fareed Zakaria, editor Newsweek International, menjadi relevan.
Demokrasi menjadi tidak liberal. Kebebasan politik mendapat tempat, tetapi kebebasan sipil (civil
liberties), khususnya kebebasan beribadah kelompok minoritas, justru terancam.
Dalam era demokrasi sekarang, kompetisi politik untuk meraih jabatan publik relatif terbuka.
Seorang demagog bisa bersaing dengan seorang politisi atau bahkan negarawan untuk
memperebutkan ruang-ruang publik. Demokrasi membuka ruang persaingan antarkelompok rakyat
(popular rivalries) ataupun propaganda elite.
Proses seleksi pejabat publik menjadi transparan dan relatif akuntabel meskipun dalam
kenyataannya perekrutan pejabat publik membutuhkan biaya yang mahal dan hasilnya pun masih
bisa mengundang keraguan publik.
Kendati demikian, sistem demokrasi telah melahirkan sejumlah hal positif. Praktik demokrasi
Indonesia membutuhkan penyempurnaan. Kesepakatan atas ideologi negara hukum (rule of law)
dan penegakan hukum tentu merupakan pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan.
Penegakan hukum, khususnya soal pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang
merupakan amanat reformasi, masih dipandang diskriminatif.
Meskipun ruang kompetisi terbuka, kelemahan justru menerpa akuntabilitas, baik vertikal maupun
horizontal. Sistem pemilihan umum yang dibangun tidak menghasilkan sistem akuntabilitas yang
jelas. Tak jelas relasi antara pejabat terpilih dan orang yang memilih.
Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan batas teritorial yang jelas juga tak
menciptakan sistem akuntabilitas yang jelas. Bagaimana mekanisme pelaporan anggota DPD
Jakarta atau Yogyakarta, misalnya, terhadap rakyat yang memilihnya tetaplah menjadi sebuah
pertanyaan. Rakyat berdaulat tiap lima tahun.
Akuntabilitas horizontal juga bermasalah. Saling kontrol antara lembaga-lembaga negara,
termasuk dengan komisi-komisi negara, juga menimbulkan masalah yang tak kalah rumitnya.
Parameter lain menyangkut responsivitas sistem demokrasi Indonesia masih mengundang
masalah. Bagaimana sistem politik merespons korban lumpur Lapindo menunjukkan sistem politik
demokrasi tak berjalan. Interpelasi memang digalang sejumlah anggota DPR, tetapi interpelasi
hanyalah menciptakan kegaduhan politik yang tak membawa manfaat.
Tingkat responsivitas sistem politik demokrasi dirasakan berada dalam titik nadir. Sistem politik
demokrasi seakan tak berdaya untuk mengatasi melonjaknya kemiskinan. Tak bisa berbuat apaapa
untuk menyediakan lapangan kerja. Pilihan demokrasi disalahkan!
Ditawarkanlah sistem politik lain yang sebenarnya juga sama-sama diragukan. Namun,
pertanyaan: apakah kelambatan merespons keadaan merupakan kelambatan dari sistem politik
demokrasi atau dari aktor-aktor demokrasi itu sendiri?
Dalam kenyataan seperti itulah, pandangan Soekarno menjadi relevan. Demokrasi politik tidaklah
cukup. Orang tidak cukup hanya bisa hidup dari politik, melainkan juga demokrasi ekonomi. Bicara
soal hak asasi bukan hanya soal hak sipil dan politik, tetapi juga hak ekonomi sosial budaya.
Bicara soal hak asasi manusia diawali dengan sarapan pagi.
Robert Dahl dalam buku On Democracy (1999) menyebutkan persyaratan penting bagi demokrasi,
antara lain pengawasan militer/polisi oleh pejabat sipil, keyakinan demokrasi dan kebudayaan
politik, serta tidak ada kontrol asing yang memusuhi demokrasi.
Mengutip pendapat Jack Snyder dalam buku Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah
(2003), demokrasi Indonesia belumlah matang. Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia
yang dipresentasikan pada Mei 2006 mengonfirmasi keraguan orang akan demokrasi.
Survei itu menunjukkan pandangan: demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik mencapai 72
persen. Padahal, di negara demokrasi yang sudah mapan dukungan terhadap demokrasi sebagai
sistem terbaik rata-rata 84 persen.
Demokrasi Indonesia memang masih dalam proses. Demokrasi membutuhkan sosok yang mampu
mengarahkan ke mana demokrasi akan dibawa. Sosok yang mempunyai visi yang benar mengenai
demokrasi, memiliki cara komunikasi politik yang penuh empati, serta mempunyai kecerdasan
akademik dan emosional untuk membawa Indonesia ke dalam sistem politik demokratis.
Masalahnya: Indonesia inflasi dengan "demokrasi", (orang bebas bicara apa pun atas nama
demokrasi, orang memblokir jalan tol yang merugikan kepentingan publik dengan dalih demokrasi,
atas nama demokrasi orang bisa menghakimi kelompok lain yang dicap sesat), tetapi di sisi lain
Indonesia mengalami defisit demokrat. Inilah tantangannya!

0 komentar: